Jumat, 08 Oktober 2021

SEJARAH TAJWID DALAM AL-QUR'AN

Al-Qur’an merupakan kalamullah yang Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril. Di dalam kitab suci ini terangkum berbagai kekuasaan Allah tentang segala yang ada di bumi maupun di langit. Kitab suci Al-qur’an merupakan kitab terakhir dan penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya, sehingga kaidah dalam membaca dan menjaganya pun telah Allah atur dan benar-benar harus diperhatikan. Dari sini sangat penting kita mendalami pengetahuan tentang Ilmu Tajwid (kaidah serta cara-cara membaca Al-Qur’an) dan wajib kiranya kita memelihara bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca.

Sama halnya dengan Al-Qur’an, Ilmu Tajwid (kaidah serta cara-cara membaca Al-Qur’an) juga berkembang secara bertahap sejak zaman Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern seperti sekarang ini. Tentunya dalam perkembangan Ilmu Tajwid dari zaman Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern, ada perawi-perawi dan pencetus perkembangan Ilmu Tajwid tersebut. Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu. Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaedah serta cara-cara membaca al-Quran dengan sebaik-baiknya.

Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca. Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardu kifayah, sedangkan membaca al-Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardu ‘Ain.

Asal Kata Tajwid yaitu dari kata Bahasa Arab jawwada- yujawwidu- tajwiidan mengikuti wazan taf’iil yang berarti membuat sesuatu menjadi bagus.   Jika dibincangkan kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka kenyataan menunjukkan bahwa ilmu ini telah bermula sejak dari al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah SAW. Ini kerena Rasulullah SAW sendiri diperintah untuk membaca al-Quran dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam surat al-Muzammil ayat 4.

       ÙˆَرَتِّÙ„ِ Ø§Ù„ْÙ‚ُرْØ¢َÙ†َ تَرْتِيلًا

          "Bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)."

Kemudian Nabi Muhammad SAW mengajar ayat-ayat tersebut kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil. Di dalam beberapa buku tajwid disebutkan bahwa Istilah tajwid muncul ketika seseorang bertanya kepada khalifah ke-empat, ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah yang terdapat dalam surat al-Muzammil ayat 4 tersebut kemudian Beliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf yang berarti membaca huruf-hurufnya dengan bagus (sesuai dengan makhraj dan sifat) dan tahu tempat-tempat waqaf. Ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Qur’an bukanlah suatu ilmu hasil dari Ijtihad (fatwa) para ulama' yang diolah berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Qur’an adalah suatu yang Taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang asli, yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah SAW. 

          Para sahabat r.a adalah orang-orang yang amanah dalam mewariskan bacaan ini kepada generasi umat Islam selanjutnya. Mereka tidak akan menambah atau mengurangi apa yang telah mereka pelajari itu, karena rasa takut mereka yang tinggi kepada Allah SWT dan begitulah juga generasi setelah mereka. Perlu diketahui bahwa pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin belum ada mushaf al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini. Pada saat itu al-Qur’an ditulis dalam bahasa Arab yang belum ada tanda bacanya sebagaimana tulisan Arab saat ini. Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Ilmu tajwid pun belum ada dan bahkan Al-Qur’an juga baru dibukukan sepeninggal Rasulullah SAW.

Walau bagaimanapun, apa yang dikira sebagai penulisan ilmu Tajwid yang paling awal ialah ketika bermulanya kesadaran perlunya Mushaf Utsmanyah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman itu diletakkan titik-titik kemudiannya, baris-baris bagi setiap huruf dan perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. Karena pada masa itu Khalifah umat Islam memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam mulai melakukan-kesalahan dalam bacaan.

Ini karena semasa Sayyidina Utsman menyiapkan Mushaf al-Qur’an dalam enam atau tujuh buah. Beliau telah membiarkannya tanpa titik-titik huruf dan baris-barisnya karena memberi keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah SAW sesuai dengan Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam. Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun 1 dan 2 Hijriah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang banyak dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan al-Qur’an. Maka al-Qur’an Mushaf Utsmaniah telah diusahakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam membacanya dengan penambahan baris dan titik pada huruf-hurufnya bagi karangan ilmu qira’at yang paling awal sepakat, yang dipimpin oleh para penyelidik ialah apa yang telah dihimpun oleh Abu 'Ubaid Al-Qasim Ibnu Salam dalam kitabnya "Al-Qira’at" pada kurun ke-3 Hijriah.

Akan tetapi ada yang mengatakan, apa yang telah disusun oleh Abu 'Umar Hafs Ad-Duri dalam ilmu Qiraat adalah lebih awal. Pada kurun ke-4 Hijriah pula, lahir Ibnu Mujahid Al-Baghdadi dengan karangannya "Kitabus Sab'ah", dimana beliau adalah orang yang mula-mula mengasingkan qira’at kepada tujuh imam bersesuaian dengan tujuh perbedaan dan Mushaf Utsmaniah yang berjumlah tujuh naskah. Kesemuanya pada masa itu karangan ilmu tajwid yang paling awal, barangkali tulisan Abu Mazahim Al-Haqani dalam bentuk qasidah (puisi) ilmu tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijriah adalah yang terulung. Sejarah berbicara pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah yang memegang kekuasaan kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca al-Qur’an tanpa ada syakal.

Pemberian titik dan baris pada mushaf al-Qur’an ini dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad Ad-Duali untuk meletakkan tanda baca (I’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.

Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), Khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, yaitu Al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf Ba’ dengan satu titik di bawah, huruf Ta’ dengan dua titik di atas, dan Tsa’ dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.


Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan al-Qur’an bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan al-Qur’an dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan al-Qur’an baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab (‘ajami).

Perkembangan zaman masih banyak orang Islam yang masih kesulitan membacanya. Baru kemudian pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca al-Qur’an. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka pada masa itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan Isymam pada kalimat-kalimat yang ada.

Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal al-Quran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan mad. Ilmu Tajwid pun lahir karena hasil ijtihad para ulama masa itu. Lalu mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda Wakaf (berhenti membaca), Ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.

Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan al-Quran adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.

Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca al-Quran. Ini semua berkat peran para ulama di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca al-Quran. Dalam Alquran surah Al-Hijr (15) ayat 9, Allah berfirman, ”Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang menjaganya.” Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur’an selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan. Karena itu, banyak umat Islam, termasuk di zaman Rasulullah SAW  yang hafal al-Qur’an. Dengan adanya umat yang hafal al-Qur’an maka al-Qur’an pun akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.

Selanjutnya, demi memudahkan umat membaca al-Qur’an dengan baik, mushaf al-Qur’an pun dicetak sebanyak-banyaknya setelah melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama yang hafal al-Qur’an). Dan al-Qur’an pertama kali dicetak pada tahun 1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Namun, kekuasaan gereja memerintahkan agar Al-Qur’an yang telah dicetak itu dibasmi. Kemudian, Hankelman mencetak al-Qur’an di Kota Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M atau sekitar abad ke-12 H. Kini, al-Qur’an telah dicetak di berbagai negara di dunia. Demikian ulasan singkat kami tentang sejarah singkat Ilmu Tajwid dari masa kemasa. Semoga dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya


Rabu, 06 Oktober 2021

EVALUASI DIRI GURU

Pengertian Menilai Diri

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Menilai: me.ni.lai Verba (kata kerja) memperkirakan atau menentukan nilainya memberi nilai; menganggap, memberi angka. Sedangkan yang di maksud disini yaitu tentang menilai kinerja dan professional diri guru sehingga berubah dari kata menilai bergeser kearah evaluasi. Menurut Oemar Hamalik, evaluasi adalah proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang suatu sistem pengajaran. Evaluasi diri adalah suatu pengawasan yang difokuskan pada kelembagaan yang mengharapkan memperoleh pengakuan dan pengaruh pelayanan dan aktifitas yang unggul. Keunggulan hasil yang diperoleh oleh evaluasi kelembagaan kepada yang mengharapkan merupakan tujuan realitas dari kedua belah pihak. 


Secara psikologis, evaluasi dalam bidang pendidikan di sekolah dapat ditarik dari dua sisi, yaitu dari sisi peserta didik dan dari sisi pendidik. Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan batin kepada mereka untuk mengenal kapasitas dan status dirinya masing-masing di tengah-tengah kelompoknya atau kelasnya. Masing-masing mereka akan mengetahui apakah dia termasuk siswa yang pandai, rata-rata, atau berkemampuan rendah.

Bagi guru atau pendidik, evaluasi pendidikan akan memberikan kepastian atau ketetapan hati kepada dirinya tentang sejauh manakah usaha pendidikan-pengajaran yang telah dilakukannya selama ini telah membawa hasil, sehingga dia secara psikologis memiliki pedoman atau pegangan batin yang berguna untuk menentukan langkah-langkah apa saja yang dipandang perlu dilakukan selanjutnya. Misalnya, dengan menggunakan metode-metode mengajar tertentu, hasil belajar para peserta didik telah menunjukkan adanya peningkatan daya serap terhadap materi yang diajarkan, maka atas dasar evaluasi, penggunaan metode-metode tersebut perlu dipertahankan. Sebaliknya, apabila hasil belajar para peserta didik ternyata tidak menggembirakan, maka guru akan berusaha melakukan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan sgar hasil belajar peserta didiknya menjadi lebih baik.

Proses evaluasi oleh guru harus tepat terhadap tipe tujuan yang biasanya dinyatakan dalam bahasa perilaku. Dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dengan alat evaluasi yang sama, maka evaluasi menjadi salah satu hal yang sulit dan menentang, yang harus disadari oleh para guru. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 57 ayat (1), evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, di antaranya terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan.
Evaluasi atau Menilai diri guru:

Didalam menilai diri guru terdapat dua aspek yang harus ada: Menilai guru berdasarkan kinerjanya, terdapat beberapa pengertian mengenai kinerja dalam Utami (2011), yaitu sebagai berikut. 

Mangkunegara mendefinisikan kinerja adalah hasil kerja yang secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Sulistiyani dan Rosidah menyatakan kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya.

Bernandin dan Russell mengemukakan kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan, serta waktu. 

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, definisi kinerja sebagai hasil kerja yang dicapai oleh individu yang disesuaikan dengan peran atau tugas individu tersebut dalam suatu organisasi pada suatu periode tertentu, yang dihubungkan dengan suatu ukuran nilai atau standar tertentu dari organisasi di mana individu tersebut bekerja

Penilaian terhadap kinerja guru merupakan suatu upaya untuk mengetahui kecakapan maksimal yang dimiliki guru berkenaan dengan proses dan hasil pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakannya atas dasar kriteria tertentu. Penilaian kinerja sebagai suatu bentuk penilaian prestasi kerja guru atas dasar kecakapan-kecapakan atau kompetensi tertentu. Pada dasarnya penilaian kinerja bertujuan untuk mengukur tingkat pelaksanaan tugas pokok dan fungsi guru dalam melaksanakan tugas-tugas keguruan dan non keguruan. Tugas keguruan yaitu pelaksanaan proses pembelajaran, yang diawali dengan proses perencanaan, proses pelaksanaan pembelajaran, dan proses evaluasi, sedangkan tugas non keguruan antara lain keorganisasian dan pendidikan serta latihan maupun kepemimpinan.
Menilai guru berdasarkan profesionalitasnya

Selain kinerja, sikap profesionalisme guru juga patut diperhatikan guna meningkatkan kinerja guru. Profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian pada pendidikan dan jenjang pendidikanya atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, yang dimiliknya yang merupakan jalan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari apa yang berupa perkerjaanya.

 Sikap yang baik tercermin dari pribadi yang baik pula, hal tersebut erat kaitannya dengan kompetensi guru yaitu kompetensi kepribadian. Empat kompetensi guru (kepribadian, pedagogik, sosial, dan profesional) menjadi salah satu syarat seorang guru dapat dikatakan profesional. Profesionalisme guru seyogyanya menjadi springboard bagi guru untuk terus menerus menata komitmen melakukan perbaikan diri dalam rangka meningkatkan kinerjanya. Peningkatan kinerja atas dorongan iklim organisasi yang baik diharapkan mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja guru di sekolah. 
Tujuan evaluasi diri bagi guru yaitu :

Dapat Menyusun profil pribadi, kemampuan, keterampilan, kompetensi guna memperbaiki kinerja diri sendiri.

Sebagai pra kondisi untuk merencanakan dan melakukan tindakan perbaikan diri secara sinambung. 

Penjaminan mutu internal oleh dirinya sendiri.

Pemberian informasi secara jujur dan terbuka mengenai kekuatan dan kelemahan pribadi kepada siswa, teman sejawat atau pihak tertentu yang memerlukannnya.

Persiapan pribadi untuk meminta pihak ketiga dalam rangka penentuan prioritas program pengembangan propesional guru.
Seperti yang tertulis di dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 pasal 1 ayat (1) tentang guru dan dosen yaitu Guru sebagai suatu profesi adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Lebih lanjut, Sagala yang menegaskan bahwa, guru yang memenuhi standar adalah guru yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dan memahami benar apa yang harus dilakukan, baik ketika di dalam maupun di luar kelas.

 Adapun Penerapan Evaluasi Diri Guru dengan menggunakan table sebagai berikut:

No Dimensi Tugas Utama/Indikator Kinerja Guru

Evaluasi Diri Terhadap Kompetensi Terkait

I. Perencanaan Pembelajaran
1. Kemampuan mempormulasikan tujuan pembelajaran dalam RPP sesuai dengan kurikulum atau silabus dan memperhatikan karakteristik peserta didik. Guru kesulitan dalam memahami dan menuliskan tujuan pembelajaran yang memperhatikan karekter peserta didik

2. Kemampuan menyusun bahan ajar secara teratur, logis, kontekstual. Guru belum terbiasa menyusun bahan ajar, selama ini guru menggunakan buku dari penerbit

3. Kemampuan merencanakan kegiatan pembelajaran yang efektif. Guru sudah merencanakan pembelajaran siswa aktif dan efektif 

4. Pemilihan sumber belajar/media pembelajaran sesuai dengan materi dan strategi pembelajaran

Guru tidak mengalami kesulitan dalam memilih sumber belajar, sudah menggunakan berbagai sumber belajar/media/alat peraga dan lain-lain.

II. Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran yang aktif dan efektif

Kegiatan Pendahuluan 
1. Keterampilan memulai pembelajaran dengan efektif

Guru masih merasa kesulitan dalam memilih strategi untuk membangkitkan motivasi siswa. Kadang masih sering ketukar kegiatan apersepsi dengan motivasi.

Kegiatan Inti
1. Penguasaan materi pelajaran

Secara umum guru tidak ada masalah dalam penguasaan materi pembelajaran karena secara rutin guru mengakses dari modul-modul 
2. Kemampuan menerapkan pendekatan/strategi pembelajaran yang efektif

Tidak ada masalah, PAKEM sudah diterapkan, hanya saja masih kebingungan dalam meniliskan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi dalam RPP
3. Pemanfaatan sumber belajra/media dalam pembelajaran

Guru sudah menggunakan berbagai sumber belajar/media termasuk lingkungan sebagai sumber belajar.
4. Kemampuan memicu dan memelihara keterlibatan siswa dalam pembelajaran

Tidak ada masalah, karena secara situasional guru sering mengganti formasi tempat duduk dan memperhatikan siswa secara individu, sehingga siswa tertib dan aktif mengikuti pembelajaran.
5. Kemampuan bahasa yang baik dan benar

Kadang-kadang guru masih menggunakan bahasa daerah dalam menjelaskan materi pelajaran

Kegiatan Penutup
1. Keterampilan mengakhiri pembelajaran dengan efektif

Guru sering lupa melakukan refleksi dan menyampaikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan yang akan datang karena diakhir pelajaran sering waktunya tidak cukup

 DAFTAR PUSTAKA

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Evaluasi diri guru untuk kelas 7

Evaluasi diri guru untuk kelas 8

Jumat, 01 Oktober 2021

 DALAM BUKU KERJA 3 MAPEL AL-QUR'AN HADIS KELAS 7

1. DAFTAR BUKU PEGANGAN (DOWNLOAD)
2. KISI-KISI SOAL AL-QUR'AN HADIS (DOWNLOAD)
3. SOAL PAS  (DOWNLOAD)
4. ABSENSI (DOWNLOAD)
5. DAYA SERAP (DOWNLOAD)
6. JADWAL (DOWNLOAD)
7. PENILAIAN (DOWNLOAD)

Minggu, 02 Mei 2021

Absensi

Mungkin ketika kita di sekolah selalu ingat dengan kalimat ini. "Kita absen dulu ya, anak-anak!" atau "Kita absensi dulu ya, anak-anak!"

Kalimat pembuka yang sering digunakan oleh para guru. Apakah ada yang salah dengan kalimat di atas? Jawaban adalah ada. Lantas salahnya dimana?

Dan ketika diterapkan berdasarkan dua kaliamt di atas akan menjadi, "Kita tidak masuk/tidak hadir dulu ya, anak-anak!" atau "Kita ketidakhadiran dulu ya, anak-anak!"

Kalau begitu yang benar bagaimana?




Masih dalam KBBI, "mengabsen" memiliki arti memanggil (menyebutkan, membacakan) nama-nama orang pada daftar untuk memeriksa hadir tidaknya orang.

Jadi, sudah saatnya kita mengubahnya menjadi,
"Kita mengabsen dulu ya, anak-anak!" atau bisa juga "Kita mengisi daftar hadir dulu ya, anak-anak!"

Bisa juga dengan kalimat "Siapa yang absen hari ini, anak-anak!"

Terserah mau digunakan yang mana! Semoga bermanfaat!

Senin, 11 Januari 2021

PROGRAM TINDAK LANJUT

Minggu, 03 Januari 2021

PENILAIAN

Kata “Penilaian” merupakan salah satu kunci terjadinya proses pembelajaran yang baik dan benar. Mengapa? Karena Penilaian ini akan menentukan langkah-langkah proses pembelajaran, seperti: menentukan kompetensi yang harus dicapai, menentukan hasil belajar siswa, kegiatan pembelajaran, menentukan interaksi antar siswa dan antar siswa dengan guru, menentukan instrumen penilaian, dan menentukan tindak lanjut.


Mengapa penulis mempertanyakan arti kata “penilaian” seperti dalam judul di atas? Coba kita simak arti kata beberapa nomenklatur pengukuran, seperti: “assessment”, “appraisal”, dan “evaluation” atau bahkan “tes” dan “seleksi”. Kata “assessment” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “penilaian”. Kata “appraisal” diterjemahkan menjadi “penilaian”.





Kata “evaluation” diterjemahkan menjadi “evaluasi” yang juga dimaknai “penilaian”. Sedangkan setiap kali kita menyebutkan kata penilaian maka mindset kita langsung terbesit pada kata “paper and pencil test” atau test. Dan sayangnya kata “test” sering digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang menghafal informasi atau yang oleh orang awam disebut pengetahuan.

Akibatnya, ketika kita merancang “teacher competency assessment” misalnya atau penilaian kompetensi guru, maka yang muncul adalah instrumen penilaian kompetensi berupa test. Padahal penilaian kompetensi seyogyanya diukur dengan kinerja  yang dihasilkan guru. 

Dengan demikian telah terjadi penyederhanaan makna dari ketiga kata tersebut dan sayangnya ketiganya cenderung diterjemahkan menjadi kata “penilaian” yang berujung pada “paper & pencil test”. Hal ini dapat berakibat fatal dan menimbulkan miskonsepsi yang luar biasa, dan menyebabkan orientasi proses pembelajaran lebih menekankan pada penyampaian materi pelajaran yang bersifat kognitif dan parahnya lagi hanya bersifat “recall” atau “remembering” saja, jauh dari asesmen kompetensi. Hal ini sudah menjadi problematik sejak lama.

Dengan demikian, EBTANAS, Ujian Nasional, UNBK, dan Asesmen “Kompetensi” Minimal (AKM) masih bisa dilaksanakan untuk pemetaan kualitas penguasaan pengetahuan siswa sebagai bagian dari hasil belajar, tapi tidak bisa dikatakan asesmen kompetensi karena asesmen seperti ini tidak mengukur hasil belajar secara utuh. Pernyataan seperti ini sudah menjadi diskursus sejak lama, namun sampai sekarang masih belum ada titik temu.

Minggu, 01 November 2020

SILABUS


Silabus
 dapat didefinisikan sebagai “garis besar, ringkasan, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran”. Silabus digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum berupa penjabaran lebih lanjut dari standar kompetensi dan kemampuan dasar yang ingin dicapai, dan pokok-pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari siswa dalam mencapai standar kompetensi dan kemampuan dasar.

Silabus adalah salah satu komponen perangkat pembelajaran dari rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata pelajaran dengan tema tertentu, yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan.

Berikut ini  silabus untuk kelas 7 MTs : (Tinggal Klik wes) untuk kelas 8 (disini aja kliknya)