Al-Qur’an merupakan kalamullah yang Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril. Di dalam kitab suci ini terangkum berbagai kekuasaan Allah tentang segala yang ada di bumi maupun di langit. Kitab suci Al-qur’an merupakan kitab terakhir dan penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya, sehingga kaidah dalam membaca dan menjaganya pun telah Allah atur dan benar-benar harus diperhatikan. Dari sini sangat penting kita mendalami pengetahuan tentang Ilmu Tajwid (kaidah serta cara-cara membaca Al-Qur’an) dan wajib kiranya kita memelihara bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca.
Sama halnya dengan Al-Qur’an, Ilmu Tajwid (kaidah serta cara-cara membaca Al-Qur’an) juga berkembang secara bertahap sejak zaman Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern seperti sekarang ini. Tentunya dalam perkembangan Ilmu Tajwid dari zaman Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern, ada perawi-perawi dan pencetus perkembangan Ilmu Tajwid tersebut. Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu. Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaedah serta cara-cara membaca al-Quran dengan sebaik-baiknya.
Asal Kata Tajwid yaitu dari kata Bahasa Arab
jawwada- yujawwidu- tajwiidan mengikuti wazan taf’iil yang berarti membuat
sesuatu menjadi bagus. Jika dibincangkan
kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka kenyataan menunjukkan bahwa ilmu ini telah
bermula sejak dari al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah SAW. Ini kerena Rasulullah SAW sendiri diperintah untuk membaca al-Qur’an dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam surat al-Muzammil ayat 4.
ÙˆَرَتِّÙ„ِ الْÙ‚ُرْØ¢َÙ†َ تَرْتِيلًا
"Bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)."
Kemudian Nabi Muhammad SAW mengajar ayat-ayat tersebut kepada para
sahabat dengan bacaan yang tartil. Di dalam beberapa buku tajwid disebutkan
bahwa Istilah tajwid muncul ketika seseorang bertanya kepada khalifah ke-empat,
‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah yang terdapat dalam surat
al-Muzammil ayat 4 tersebut kemudian Beliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan
kata tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf yang berarti membaca
huruf-hurufnya dengan bagus (sesuai dengan makhraj dan sifat) dan tahu
tempat-tempat waqaf. Ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Qur’an bukanlah suatu
ilmu hasil dari Ijtihad (fatwa) para ulama' yang diolah berdasarkan dalil-dalil
dari al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Qur’an adalah suatu yang Taufiqi
(diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang asli, yaitu sebutan dan
bacaan Rasulullah SAW.
Para sahabat r.a adalah orang-orang yang amanah dalam mewariskan bacaan ini kepada generasi umat Islam selanjutnya. Mereka tidak akan menambah atau mengurangi apa yang telah mereka pelajari itu, karena rasa takut mereka yang tinggi kepada Allah SWT dan begitulah juga generasi setelah mereka. Perlu diketahui bahwa pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin belum ada mushaf al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini. Pada saat itu al-Qur’an ditulis dalam bahasa Arab yang belum ada tanda bacanya sebagaimana tulisan Arab saat ini. Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Ilmu tajwid pun belum ada dan bahkan Al-Qur’an juga baru dibukukan sepeninggal Rasulullah SAW.
Walau bagaimanapun, apa yang dikira sebagai
penulisan ilmu Tajwid yang paling awal ialah ketika bermulanya kesadaran
perlunya Mushaf Utsmanyah yang ditulis oleh Sayyidina
Utsman itu diletakkan titik-titik kemudiannya, baris-baris bagi setiap huruf
dan perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil
bin Ahmad Al-Farahidi. Karena pada masa itu Khalifah umat Islam memikul tugas untuk berbuat demikian
ketika umat Islam mulai melakukan-kesalahan dalam bacaan.
Ini karena semasa Sayyidina Utsman menyiapkan
Mushaf al-Qur’an dalam enam atau tujuh buah. Beliau telah membiarkannya tanpa titik-titik huruf
dan baris-barisnya karena memberi keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada
masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah
SAW sesuai dengan Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam. Tetapi
setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta jatuhnya
Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun 1 dan 2 Hijriah, bahasa Arab
mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini
telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang banyak dalam penggunaan bahasa Arab
dan begitu juga pembacaan al-Qur’an. Maka al-Qur’an Mushaf Utsmaniah telah
diusahakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam membacanya dengan
penambahan baris dan titik pada huruf-hurufnya bagi karangan ilmu qira’at yang
paling awal sepakat, yang dipimpin oleh para penyelidik ialah apa yang telah
dihimpun oleh Abu 'Ubaid Al-Qasim Ibnu Salam dalam kitabnya
"Al-Qira’at" pada kurun ke-3 Hijriah.
Akan tetapi ada yang mengatakan, apa yang telah disusun
oleh Abu 'Umar Hafs Ad-Duri dalam ilmu Qira’at adalah lebih awal. Pada kurun ke-4 Hijriah pula,
lahir Ibnu Mujahid Al-Baghdadi dengan karangannya "Kitabus Sab'ah",
dimana beliau adalah orang yang mula-mula mengasingkan qira’at kepada tujuh
imam bersesuaian dengan tujuh perbedaan dan Mushaf Utsmaniah yang berjumlah
tujuh naskah. Kesemuanya pada masa itu karangan ilmu tajwid yang paling awal,
barangkali tulisan Abu Mazahim Al-Haqani dalam bentuk qasidah (puisi) ilmu
tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijriah adalah yang terulung. Sejarah berbicara
pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai
dilakukan ketika Dinasti Umayyah yang memegang kekuasaan kekhalifahan Islam
atau setelah 40 tahun umat Islam membaca al-Qur’an tanpa ada syakal.
Pemberian titik dan baris pada mushaf al-Qur’an ini dilakukan dalam
tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu,
Muawiyah menugaskan Abdul Aswad Ad-Duali untuk meletakkan tanda baca (I’rab)
pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65
H), Khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah
seorang gubernur pada masa itu, yaitu Al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu
huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf Ba’ dengan
satu titik di bawah, huruf Ta’ dengan dua titik di atas, dan Tsa’ dengan tiga
titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim
dan Hay bin Ya’mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam
telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan
al-Qur’an bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah
untuk menuliskan al-Qur’an dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya
agar adanya keseragaman bacaan al-Qur’an baik bagi umat Islam yang
keturunan Arab ataupun non-Arab (‘ajami).
Perkembangan zaman masih banyak orang Islam yang masih kesulitan
membacanya. Baru kemudian pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan
tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan
memudahkan umat Islam dalam membaca al-Qur’an. Pemberian tanda baris ini
mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al
Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka pada masa itu. Menurut
sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid,
dan Isymam pada kalimat-kalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama
selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan
menghafal al-Quran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan
tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan mad. Ilmu Tajwid
pun lahir karena hasil ijtihad para ulama masa itu. Lalu mereka juga membuat tanda lingkaran bulat
sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda Wakaf (berhenti membaca), Ibtida’ (memulai membaca), menerangkan identitas surah di
awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah
‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan
al-Quran adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya,
berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan
isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu
sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia,
apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca
al-Quran. Ini semua berkat peran para ulama di atas dalam membawa umat menjadi
lebih baik, terutama dalam membaca al-Quran. Dalam Alquran surah Al-Hijr (15)
ayat 9, Allah berfirman, ”Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan
Kami pula yang menjaganya.” Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan
kemurnian al-Qur’an selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan. Karena
itu, banyak umat Islam, termasuk di zaman Rasulullah SAW yang
hafal al-Qur’an. Dengan adanya umat yang hafal al-Qur’an maka al-Qur’an pun
akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.
Selanjutnya, demi memudahkan umat membaca al-Qur’an dengan baik, mushaf al-Qur’an pun dicetak sebanyak-banyaknya setelah melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama yang hafal al-Qur’an). Dan al-Qur’an pertama kali dicetak pada tahun 1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Namun, kekuasaan gereja memerintahkan agar Al-Qur’an yang telah dicetak itu dibasmi. Kemudian, Hankelman mencetak al-Qur’an di Kota Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M atau sekitar abad ke-12 H. Kini, al-Qur’an telah dicetak di berbagai negara di dunia. Demikian ulasan singkat kami tentang sejarah singkat Ilmu Tajwid dari masa kemasa. Semoga dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya